31 Oktober 2010

Permata yang Berharga (3)

Hari sudah menjelang siang ketika Gea bangun. Ia keluar dari kamarnya dan melihat rumahnya sudah kosong. Ia menuju meja makan dan melihat meja makannya sudah terisi oleh makanan dan ada sepucuk surat. Ia membukanya.

Gea, papa dan mama pergi kerja dulu. Maaf ya belum sempat ngobrol dengan kamu. Kami hari ini pulang rada malam. Ada meeting. Kamu makan sarapan yang sudah mama siapkan. Makan siang dan malam beli aja.
Salam sayang,
Mama dan papa


Gea mendengus. “Apaan salam sayang? Bull shit!” batinnya. Ia pun memakan sarapan itu dan memutuskan untuk mandi dan pergi ke mall melepas kebosanannya.

***

Gea melangkah letih. Sudah beberapa jam ia berputar di mall ini. Tapi, tetap saja kegundahannya tidak terobati. Ia pun memilih duduk di kursi yang ia temukan sambil memijat-mijat kakinya.

“Hai! Lagi ngapain kamu?” kata Rendi riang. Gea kaget dan menoleh, “Rendi! Ngapain kamu di sini?”
“Jalan-jalan dong. Bosen nih di asrama, sekolah belum mulai lagi. Jadi mending jalan-jalan. Betul ga? Kaki kamu kenapa?” tanya Rendi sambil duduk di sebelah Gea.
“Ngga apa-apa kok. Cuman cape aja abis muter-muter.”
“Ooohhhh... Gimana kalau kita minum kopi aja di kafe?”

***

Rendi dan Gea duduk di meja dekat sebuah kaca di dalam sebuah kafe. Seorang pelayan membawakan dua cangkir kopi. Setelah meletakkannya, pelayan itu pun berlalu dari sana. Rendi melihat Gea yang hanya mengaduk-ngaduk cangkir kopinya dengan pandangan kosong dan tidak bersemangat tanpa meminumnya.

“Lagi ada masalah?” tanya Rendi akhirnya.
“Mmmm... Ngga kok.” kata Gea terbangun dari lamunannya.
“Ngga mungkin. Kamu ga seceria biasanya. Cerita aja. Siapa tau aku bisa bantu.” pinta Rendi.

Dengan enggan Gea menceritakan kisahnya. Bagaimana ia tidak mendapat kasih sayang dari orangtuanya yang sibuk bekerja. Orangtuanya selalu sibuk. Waktu kecil, di ulang tahun ke enamnya, ia merayakan pesta ulang tahun. Orang tuanya janji akan pulang cepat, tetapi saat waktunya sudah tiba orang tuanya tak kunjung pulang. Gea kecil tidak mau memulai pestanya hingga 3 jam dari waktu yang ditentukan. Akibatnya, satu-persatu tamunya pergi meninggalkan Gea kecil yang menangis sendirian di sofa ruang tamu. Keesokan harinya, orang tua Gea bahkan tidak mengucapkan kata maaf sekalipun. Sejak saat itu, Gea mulai membenci kedua orang tuanya.

“Menurutku, orang tua kamu ngga sepenuhnya salah loh.” Kata Rendi saat cerita Gea berakhir.
“Kenapa? Dari dulu mereka ngga pernah peduli sama aku. Aku selalu ditinggal sendirian. Aku selalu ga dihargain.”
“Gea, coba kamu pikir. Bagaimana hidup kamu sekarang? Kamu hidup enak. Makan enak, pakaian banyak, hp punya, rumah mewah, saat di Jakarta kamu punya rumah yang tak kalah mewahnya dengan yang di sini, makanannya pun tidak kalah enaknya, kamu punya sopir, punya mobil. Hidup kamu ngga menderita.”
“Tapi, Ren. Apa artinya semua itu tanpa kasih sayang orang tua? Aku lebih milih untuk jadi orang miskin tapi disayangi daripada kaya tapi tidak disayangi.”
“Kalau kamu jadi orang miskin. Apa kamu bisa makan? Untuk kamu makan sebutir nasi pun belum tentu dapat sehari. Kamu bisa kurang gizi, tidur di tempat tidak nyaman. Kamu akan menderita. Tapi, sekarang? Kamu ngga ngalamin semua itu. Kenapa? Orang tua kamu kerja keras untuk kamu. Kamu pikir mereka senang sibuk seperti itu? Ngga! Cape banget Gea kerja dari pagi sampai malam itu. Butuh tenaga banyak. Tapi, mereka rela buat ngelakuin itu demi kamu. Mereka ingin kamu dapat yang terbaik.”
“Tapi, mereka ngga peduli ma aku, Ren.”
“Apa kamu pernah ngomong ke mereka? Kamu pernah bilang kalau kamu sedih ditinggal seperti itu? Ngga kan? Kalau kamu ngga bilang mereka mana bisa tau. Mereka pikir kamu bahagia dengan uang yang mereka dapat susah payah.”
“Tapi kan....” kata Gea.
“Komunikasi Gea. Kamu kurang komunikasi dengan mereka,” potong Rendi.

Gea berpikir sejenak mencoba mencerna kata-kata Rendi.

Bersambung....

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates
This template is brought to you by : allblogtools.com | Blogger Templates