31 Oktober 2010

Kisah Seekor Belalang

Seekor belalang lama terkurung dalam satu kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya, dengan gembira dia melompat-lompat menikmati kebebasannya.

Di perjalanan dia bertemu dengan belalang lain, namun dia heran mengapa belalang itu bisa lompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.

Dengan penasaran dia bertanya,

“Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh dariku,padahal kita tidak jauh berbeda dari usia maupun ukuran tubuh?” Belalang itu menjawabnya dengan pertanyaan,

“Dimanakah kau tinggal selama ini? Semua belalang yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan.”

Saat itu si belalang baru tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang telah membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas.

Sering kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah juga mengalami hal yang sama dengan belalang tersebut. Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan beruntun, perkataan teman,tradisi, dan semua itu membuat kita terpenjara dalam kotak semu yang mementahkan potensi kita.

Sering kita mempercayai mentah-mentah apa yang mereka voniskan kepada kita tanpa berpikir dalam bahwa apakah hal itu benar adanya atau benarkah kita selemah itu? Lebih parah lagi, kita acap kali lebih memilih mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri.

Tahukah Anda bahwa gajah yang sangat kuat bisa diikat hanya dgn tali yang terikat pada pancang kecil? Gajah sudah akan merasa dirinya tidak bisa bebas jika ada “sesuatu” yang mengikat kaki nya, padahal “sesuatu” itu bisa jadi hanya seutas tali kecil…

Sebagai manusia kita mampu untuk berjuang, tidak menyerah begitu saja kepada apa yang kita alami. Karena itu, teruslah berusaha mencapai segala aspirasi positif yang ingin kita capai. Sakit memang, lelah memang,tapi jika kita sudah sampai di puncak, semua pengorbanan itu pasti akan terbayar. Pada dasarnya, kehidupan kita akan lebih baik kalau kita hidup dengan cara hidup pilihan kita sendiri, bukan dengan cara yang di pilihkan orang lain untuk kita.

Permata yang Berharga (5)

“Yang meninggal ada 3 orang, yang pertama seorang gadis perempuan berusia sekitar 5 tahun, kedua seorang kakek berusia sekitar 60-70 tahun. Yang satunya lagi mukanya sulit diidentifikasi karena sudah hancur terkena beling kaca. Tetapi, dilihat dari jenis kelamin dan bentuk tubuh. Sepertinya seorang pemuda berusia sekitar 20-25 tahun. Dan sisanya korban luka-luka dari jumlah keseluruhan hanya ada 2 pemuda dan mereka tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia atau mengaku bernama Rendi.”

Kata-kata itu terus terngiang di telinga Gea. Bila Rendi tidak ada di antara korban luka. Artinya pemuda yang meninggal itu..... Rendi. Gea merinding. Bagaimana mungkin. Ia duduk di sebelah Rendi. Tetapi, tidak mendapat pecahan beling sedikit pun. Tidak mungkin, tidak mungkin. Gea menangis. Saat itu ia sedang sendirian di kamar pasiennya. Keadaannya sudah membaik. Tetapi, ia masih sedih. Rendi. Seorang sahabatnya, yang memberikan sebuah titik terang baginya di dunianya yang gelap. Sekarang sudah tidak ada. Sungguh sulit dipercaya. Tiba-tiba ia teringat sebuah kotak yang diberikan orang tuanya beberapa hari yang lalu setelah ia sadar. Ia mengambil kotak itu dari laci. Dan menatapnya.

“Mama nemuin ini di kantong jaket kamu. Tapi, mama ngga berani buka. Mama pikir lebih baik kamu yang buka saja." Kata mamanya saat itu.

Perlahan Gea membuka kotak itu. Dilihatnya sebuah bros yang sangat indah. Seperti sebuah permata yang bersinar. Dan ada sepucuk surat. Dibukanya surat itu dan dibacanya.

Gea.... Mungkin saat kamu baca surat ini aku udah ga ada di samping kamu. Mungkin sekarang kamu sudah tidur di atas ranjangmu yang hangat dan empuk. Tapi, ngga apa-apa. Aku cuman mau bilang. Makasih atas segala yang kamu kasih ke aku selama ini. Makasih atas persahabatan tulus yang kamu berikan ke aku. Aku ngga pernah punya sehabat sebelum ini. Aku berasal dari keluarga miskin. Tetapi, aku dapat beasiswa di sekolah elit. Dan tidak ada satu pun temanku yang menganggap aku ada. Maafkan aku, aku tidak memberitahumu dari awal. Aku takut kehilangan kamu. Sahabat aku. Aku harap bros ini bisa kamu simpan. Bros ini nenekku berikan padaku saat aku berusia 12 tahun. Ia ingin aku memberikan ke orang yang benar-benar aku sayangi. Dan aku pikir kamu orang yang tepat. Semoga kamu suka.

Rendi


“Rendi. Aku ngga malu punya sahabat kayak kamu. Aku sayang ma kamu. Ga peduli kamu semiskin apa. Kamu tetap sahabatku. Kamu ngasih aku sebuah titik terang di dalam duniaku yang gelap. Aku memang kurang bersyukur atas apa yang aku miliki. Makasih buat semua yang kamu beri. Kamu bagaikan sebuah permata yang berharga buatku. Sama seperti bros ini.” batin Gea.


TAMAT

Permata yang Berharga (4)

Gea dan Rendi sedang berada di dalam sebuah bis yang melaju kencang. Mereka duduk sambil tertawa riang.

“Hhhh.... Ngga nyangka aku udah pergi seharian. Rasanya cape banget. Akhirnya mau pulang juga,” kata Gea riang.
“Udah ga kepikiran masalah tadi kan?” tanya Rendi.
“Ngga kok. Aku pikir kata-kata kamu bener juga. Aku bakal nurutin saran kamu.”

Tiba-tiba Rendi dan Gea merasakan dorongan yang sangat kuat. Seketika itu juga mereka terlempar ke sana sini di dalam mobil bis itu. Gea melihat banyak sekali penumpang bis yang juga terlempar seperti mereka. Sesaat Gea merasakan sakit yang luar biasa di seluruh tubuhnya. Setelah itu, pandangannya menjadi gelap.

***

Gea membuka matanya yang terasa berat. Matanya sayup-sayup. Dilihatnya wajah seseorang yang makin lama makin jelas.

“Mama?” kata Gea dengan suara hampir tak terdengar.
“Iya sayang. Ini mama.” kata mamanya dengan suara menahan nangis.
“Sakit ma... Sakit... Badan Gea sakit....”
“Mana yang sakit, sayang?” kata mamanya dengan mata berkaca-kaca.
“Yi sheng! Yi sheng! Kuai lai! Wo de hai zi xing le.” teriak papa Gea.

Dokter segera datang dan memeriksa keadaan Gea. Setelah itu, ia memberitahu Papa Gea tentang keadaan anaknya. Papa Gea menghembuskan nafas lega.

“Gea kenapa pa?”

Papanya menjelaskan ke Gea. Bahwa bis yang diitumpanginya untuk pulang ditabrak truk dari samping dan jatuh terguling. Hanya ada 3 korban tewas, sisanya luka-luka dari ringan sampai berat. Gea sendiri mengalami luka yang cukup berat dan sudah tidak sadarkan diri selama 3 hari. Gea menganga mendengar penjelasan ayahnya.

“Rendi... Rendi gimana Pa?” tanya Gea.
“Rendi? Siapa itu?”
“Rendika Pa. Nama mandarinnya.... Gea ga tau. Yang jelas Gea lagi sama dia waktu di bis itu. Dia gimana keadaannya?” kata Gea panik.
“Tenang Gea. Mama akan suruh orang cari tahu. Kamu tenang yah.” Kata mamanya menenangkan.

Gea tidak tenang, ia merasakan firasat buruk.

Bersambung....

Permata yang Berharga (3)

Hari sudah menjelang siang ketika Gea bangun. Ia keluar dari kamarnya dan melihat rumahnya sudah kosong. Ia menuju meja makan dan melihat meja makannya sudah terisi oleh makanan dan ada sepucuk surat. Ia membukanya.

Gea, papa dan mama pergi kerja dulu. Maaf ya belum sempat ngobrol dengan kamu. Kami hari ini pulang rada malam. Ada meeting. Kamu makan sarapan yang sudah mama siapkan. Makan siang dan malam beli aja.
Salam sayang,
Mama dan papa


Gea mendengus. “Apaan salam sayang? Bull shit!” batinnya. Ia pun memakan sarapan itu dan memutuskan untuk mandi dan pergi ke mall melepas kebosanannya.

***

Gea melangkah letih. Sudah beberapa jam ia berputar di mall ini. Tapi, tetap saja kegundahannya tidak terobati. Ia pun memilih duduk di kursi yang ia temukan sambil memijat-mijat kakinya.

“Hai! Lagi ngapain kamu?” kata Rendi riang. Gea kaget dan menoleh, “Rendi! Ngapain kamu di sini?”
“Jalan-jalan dong. Bosen nih di asrama, sekolah belum mulai lagi. Jadi mending jalan-jalan. Betul ga? Kaki kamu kenapa?” tanya Rendi sambil duduk di sebelah Gea.
“Ngga apa-apa kok. Cuman cape aja abis muter-muter.”
“Ooohhhh... Gimana kalau kita minum kopi aja di kafe?”

***

Rendi dan Gea duduk di meja dekat sebuah kaca di dalam sebuah kafe. Seorang pelayan membawakan dua cangkir kopi. Setelah meletakkannya, pelayan itu pun berlalu dari sana. Rendi melihat Gea yang hanya mengaduk-ngaduk cangkir kopinya dengan pandangan kosong dan tidak bersemangat tanpa meminumnya.

“Lagi ada masalah?” tanya Rendi akhirnya.
“Mmmm... Ngga kok.” kata Gea terbangun dari lamunannya.
“Ngga mungkin. Kamu ga seceria biasanya. Cerita aja. Siapa tau aku bisa bantu.” pinta Rendi.

Dengan enggan Gea menceritakan kisahnya. Bagaimana ia tidak mendapat kasih sayang dari orangtuanya yang sibuk bekerja. Orangtuanya selalu sibuk. Waktu kecil, di ulang tahun ke enamnya, ia merayakan pesta ulang tahun. Orang tuanya janji akan pulang cepat, tetapi saat waktunya sudah tiba orang tuanya tak kunjung pulang. Gea kecil tidak mau memulai pestanya hingga 3 jam dari waktu yang ditentukan. Akibatnya, satu-persatu tamunya pergi meninggalkan Gea kecil yang menangis sendirian di sofa ruang tamu. Keesokan harinya, orang tua Gea bahkan tidak mengucapkan kata maaf sekalipun. Sejak saat itu, Gea mulai membenci kedua orang tuanya.

“Menurutku, orang tua kamu ngga sepenuhnya salah loh.” Kata Rendi saat cerita Gea berakhir.
“Kenapa? Dari dulu mereka ngga pernah peduli sama aku. Aku selalu ditinggal sendirian. Aku selalu ga dihargain.”
“Gea, coba kamu pikir. Bagaimana hidup kamu sekarang? Kamu hidup enak. Makan enak, pakaian banyak, hp punya, rumah mewah, saat di Jakarta kamu punya rumah yang tak kalah mewahnya dengan yang di sini, makanannya pun tidak kalah enaknya, kamu punya sopir, punya mobil. Hidup kamu ngga menderita.”
“Tapi, Ren. Apa artinya semua itu tanpa kasih sayang orang tua? Aku lebih milih untuk jadi orang miskin tapi disayangi daripada kaya tapi tidak disayangi.”
“Kalau kamu jadi orang miskin. Apa kamu bisa makan? Untuk kamu makan sebutir nasi pun belum tentu dapat sehari. Kamu bisa kurang gizi, tidur di tempat tidak nyaman. Kamu akan menderita. Tapi, sekarang? Kamu ngga ngalamin semua itu. Kenapa? Orang tua kamu kerja keras untuk kamu. Kamu pikir mereka senang sibuk seperti itu? Ngga! Cape banget Gea kerja dari pagi sampai malam itu. Butuh tenaga banyak. Tapi, mereka rela buat ngelakuin itu demi kamu. Mereka ingin kamu dapat yang terbaik.”
“Tapi, mereka ngga peduli ma aku, Ren.”
“Apa kamu pernah ngomong ke mereka? Kamu pernah bilang kalau kamu sedih ditinggal seperti itu? Ngga kan? Kalau kamu ngga bilang mereka mana bisa tau. Mereka pikir kamu bahagia dengan uang yang mereka dapat susah payah.”
“Tapi kan....” kata Gea.
“Komunikasi Gea. Kamu kurang komunikasi dengan mereka,” potong Rendi.

Gea berpikir sejenak mencoba mencerna kata-kata Rendi.

Bersambung....

24 Oktober 2010

Garam dan Telaga

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia. Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya.

Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama, ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. "Coba minum ini, dan katakan bagaimana rasanya.", ujar Pak tua itu. "Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu. sambil meludah kesamping. Pak Tua itu, sedikit tersenyum, la. lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air. mengusik ketenangan telaga itu. "Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah." Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi. "Bagaimana rasanya?". "Segar", sahut tamunya. "Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi. "Tidak", jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. la lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. "Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. "Hatimu, adalah wadah itu.
Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

Sumber : kumpulancara.com

Hidup Untuk Memberi

Disuatu sore hari pada saat aku pulang kantor dengan mengendarai sepeda motor, aku disuguhkan suatu drama kecil yang sangat menarik, seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun dengan sangat sigapnya menyalip disela-sela kepadatan kendaraan disebuah lampu merah perempatan jalan di Jakarta .

Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayunkannya sepeda berwarna biru muda, sambil membagikan bungkusan tersebut ,ia menyapa akrab setiap orang, dari Tukang koran, Penyapu jalan, Tuna wisma sampai Pak polisi.

Pemandangan ini membuatku tertarik, pikiran ku langsung melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya, apakah dia berjualan? Kalau dia berjualan apa mungkin seorang tuna wisma menjadi langganan tetapnya atau…, untuk membunuh rasa penasaran ku, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai diseberang jalan, setelah itu aku langsung menyapa anak tersebut untuk aku ajak berbincang-bincang.

"De, boleh kakak bertanya?"
"Silahkan kak."
"Kalau boleh tahu yang barusan adik bagikan ke tukang koran, tukang sapu, peminta-minta bahkan pak polisi, itu apa?"
"Oh… Itu bungkusan nasi dan sedikit lauk kak, memang kenapa, kak?"
Dengan sedikit heran, sambil ia balik bertanya. "Oh.. tidak! Kakak cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu, kelihatan kamu sudah terbiasa dan cukup akrab dengan mereka. Apa kamu sudah lama kenal dengan mereka?"

Lalu ,Adik kecil ini mulai bercerita, “Dulu, aku dan ibuku sama seperti mereka hanya seorang tuna wisma,setiap hari bekerja hanya mengharapkan belaskasihan banyak orang, dan seperti kakak ketahui hidup di Jakarta begitu sulit, sampai kami sering tidak makan, waktu siang hari kami kepanasan dan waktu malam hari kami kedinginan ditambah lagi pada musim hujan kami sering kehujanan, apabila kami mengingat waktu dulu, kami sangat-sangat sedih, namun setelah ibu ku membuka warung nasi, kehidupan keluarga kami mulai membaik."

Maka dari itu ibu selalu mengingatkanku, bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu, jadi kalau saat ini kita diberi rejeki yang cukup, kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka.

Yang ibuku selalu katakan “hidup harus berarti buat banyak orang“, karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta tidak ada yang kita bawa, hanya satu yang kita bawa yaitu Kasih kepada sesama serta amal dan perbuatan baik kita, kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang, kenapa kita harus tunda.

Karena menurut ibuku umur manusia terlalu singkat, hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta, Apa yang kita bawa?. Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hati ku, saat itu juga aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, bahkan aku merasa tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya,dibandingkan adik kecil ini.

Aku yang selama ini merasa menjadi orang hebat dengan pendidikan dan jabatan tinggi, namun untuk hal seperti ini, aku merasa lebih bodoh dari anak kecil ini, aku malu dan sangat malu. Yah.. Tuhan, Ampuni aku, ternyata kekayaan, kehebatan dan jabatan tidak mengantarku kepada Mu

Terima kasih adik kecil, kamu adalah malaikat ku yang menyadarkan aku dari tidur nyenyak ku.

"Hidup akan berarti jika kita mau membagikan sesuatu untuk orang lain dan tidak hanya fokus untuk menyenangkan diri kita sendiri "

Sumber : ceritayangmemotivasi.blogspot.com

6 Oktober 2010

The Father and The Son

Read this...

There's a father who loves his son so much. He has everything, he is very rich. His son know that his father loves him so much.

One day, when the boy celebrates his birthday. The boy wants his father gives him a sport car. He is sure that his father will give him that car. But, his father doesn't say anything.

The birthday is coming. But the father just gives a book for his son....

The boy is surprise, he's very angry and throw the book away. He leaves his house to tries to get that car by himself. His father tries to call him, but he doesn't answer the call.

Day by day passed by, the boy gets a letter. The letter say that his father die. :( He comes back to his house and his father's notary give him a key. The boy open the strong-box with the key, then he sees the book that he threw away. Next to the book, there's so much money, diamond, etc. That can make him live happilly.

He's curious about the book. And he opens the book, he opens the page one by one.

In first page the father wrote, "I love you, my son."

He continually opens the book, until the last page, he finds a key and the text say, "This is a gift for you, son."

The boy is crying and feels very regret with his attitude to his father.


Note : love our parents when they still alive. Don't negative thinking to them. Because they just want the best things for their children. Include us...

;;

Template by:
Free Blog Templates
This template is brought to you by : allblogtools.com | Blogger Templates