22 Mei 2010
Ehem.. Ini jenis postingan terbaru Iyit yang iseng-iseng Iyit masukin buat menuh-menuhin blog. Jadi, bagus ga bagus. Selamat membaca!^^
Gea menguap lebar. Matanya sayup-sayup. Jam berapa ini? tanyanya pada diri sendiri. Ia melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Jam 3.10.
“Sudah 5 jam. Laper banget nih.Tinggal 1 jam lagi nyampe nih,” batinnya sambil memegangi perutnya. Ia sedang berada di dalam pesawat menuju ke Shanghai yang berangkat pukul 22.15.
“Aku minta makanan aja deh sama pramugarinya. Daripada kelaperan gini,” gumamnya. Ia pun menekan tombol merah yang ada di langit-langit pesawat di atas kepalanya. Tak beberapa lama pramugari pun datang dan ia meminta pramugari untuk membawakan sepotong roti dan air putih hangat. Pramugari pun membawakannya beberapa saat kemudian.
“Enak banget. Makan ga bagi-bagi.”
Gea menoleh ke kiri dan kanan mencari sumber suara. Ternyata suara itu milik seorang pemuda yang duduk di depannya. Pemuda itu pun pindah tempat duduk ke sebelah Gea. Hari itu pesawat memang sepi, wajar saja karena bukan hari libur. Kebetulan Gea duduk di bagian belakang yang memang sepi. Karena perjalanan itu menghabisakan waktu 6 jam sehingga mau tak mau mereka harus tidur di pesawat.
“Kamu siapa ya?” tanya Gea.
“Oh iya, kenalin dulu. Rendika. Kamu bisa manggil aku Rendi aja kok. Salam kenal.” Kata pemuda itu sambil tersenyum dan mengulurkan tangan.
Gea membalas uluran tanggannya, “Gea.” jawabnya singkat.
“Minta dikit dong. Laper nih.” kata Rendi itu sambil mencomot potongan roti yang ada di nampan.
“Hmmm.... By the way, kamu tuh ke Shanghai juga?”
“Of course, kamu juga kan? Ngapain ke sana? Kuliah? Sekolah?” tanya Rendi bertubi-tubi.
“Mm.. Gimana yah. Orang tua aku tinggal di sana. Jadi aku nyusul dan sekalian sekolah juga. Kalau kamu?”
“Aku kabur dari rumah.” Jawab Rendi santai sambil menyantap rotinya.
“Haaah???” Tanya Gea heran
“Hahahaha... Ya nggalah. Aku tu kuliah di sana. Masa percaya sih. Hahahaha...” kata Rendi sambil tertawa terbahak-bahak memegangi perutnya.
“Ih, abis kamu ngomongnya kayak serius gitu. Mana aku tau. Hu uh.” balas Gea sambil mendengus kesal.
“Hahahahaha... Muka kamu itu loh! Lucu banget tau. Hahahaha...”
Gea diam saja sambil melihat pemuda di sebelahnya. “Menarik juga.” pikirnya. “Humoris, baik, dan penuh misteri. Rame nih.” batin Gea sambil menatap pemuda itu dengan pandangan menilai. Gea memang paling suka dengan yang namanya misteri atau teka-teki. Dari kecil ia suka membaca cerita detektif. Menurutnya, cerita-cerita itu sangat ramai dan asyik.
“Kenapa? Kok ngeliatinnya gitu amat? Bilang aja kalau ngefans.” kata Rendi senyam senyum.
“Ih, siapa juga. Ge er amat sih. Rotinya dah abis kan? Pergi sana. Hus, hus. Balik ke alamnya.”
“Hahahaha... Iya-iya. Galak amat.”
Rendi pun kembali ke kursinya. Tak lama, pramugari datang dan membereskan nampan Gea sambil memberitahu Gea untuk menaikan meja dan memakai sabuk pengaman karena pesawat akan segera mendarat.
***
Gea memandang sekelilingnya dengan kagum dari dalam taksi yang ditumpanginya. Shanghai sudah jauh berbeda dari yang terakhir kali dilihatnya. Pikirannya melayang ke beberapa minggu yang lalu
“Gea, ada telepon dari orang tua kamu.” kata gurunya suatu hari saat pelajaran sedang berlangsung.
“Orang tua? Memangnya ada apa, Bu?” tanya Gea.
“Kamu ke TU dulu saja. Tanyakan pada mereka.”
Gea pun menuju TU.
“Halo?”
“Halo? Zhi qing, Bagaimana kabar kamu? Betah tidak di sana” kata suara di seberang sana, dalam bahasa Mandarin.
“Iya, Gea gapapa kok, Pa. Baik-baik aja tu di Indonesia. Kenapa gitu? Tumben nelpon.”
“Ga ada apa-apa kok, sayang. Memangnya Papa ngga boleh telepon kamu?” tanya orang itu yang ternyata adalah Papa Gea dalam bahasa Indonesia karena mendengar anaknya berbahasa Indonesia.
“Ini kan jam sekolah Papa. Kenapa ngga nanti aja teleponnya.”
“Ga bisa. Papa nanti sibuk. Jadi, papa mesti ngomong sekarang.”
Bersambung....
Label: Cerpen