24 Mei 2010
Papanya pun memberi tahu Gea bahwa ia akan lama di Shanghai. Sehingga, mengharuskan Gea menyusulnya untuk tinggal dan sekolah di sana bersama kedua orangtuanya. Papa Gea adalah seorang warga China. Ia bekerja di sebuah perusahaan besar di China yang membuka cabang di mana-mana, sehingga sering berpindah-pindah. Gea lahir di Indonesia. Setelah berumur beberapa bulan ia dibawa kedua orang tuanya ke China dan tinggal di sana beberapa tahun hingga akhirnya ia kembali ke Indonesia. Papa Gea bisa berbahasa Indonesia karena dulu pernah bekerja di Indonesia. Sehingga, otomatis Gea menguasai 2 bahasa sekaligus, Indonesia dan Mandarin. Semenjak ia dibawa ke Indonesia. Papa dan Mamanya sering meninggalkannya karena sibuk. Gea pun tumbuh sebagai seorang anak yang haus akan kasih sayang orang tua. Ia menjadi apatis terhadap kedua orangtuanya. Ia merasa dibuang. Sekarang tiba-tiba mereka memberitahunya bahwa ia akan ke Shanghai tanpa persetujuan darinya. Saat ditelepon, Papanya sudah menyiapkan semuanya dari tiket pesawat sampai urusan sekolah. Jadi, Gea hanya bisa pasrah. Padahal ia sudah sangat betah di Jakarta. “Nona, tempat yang mau kamu datangi, alamatnya apa?” kata sopir taksi dalam bahasa Mandarin menyadarkan Gea dari lamunannya. Gea menepuk dahinya, “Oh my God.” gumamnya.
***
Gea melangkah dengan gontai di pinggir jalan raya Kota Shanghai sambil membawa kedua kopernya yang besar. Hatinya gelisah, “Gimana nih?” gumamnya. Ia lupa meminta alamat kedua orangtuanya di Shanghai. Dan kedua orangtuanya pun lupa memberitahu. Sehingga, terpaksa ia turun dari taksi yang ditumpanginya tadi. Nomor telepon papanya pun ia tidak bisa dihubungi. “Habislah riwayatku. Udah kota Shanghai tu gede bangetlagi. Gimana nih?” gumamnya sambil duduk di sebuah kursi batu yang ia temui dan terus mencoba menghubungi nomor teleponnya.
“Kesesat, Bu?”
Gea terkesiap. Dilihatnya seorang pemuda yang berdiri di depannya.
“Kamu?”
“Masih inget ga ma aku?” kata pemuda itu.
“Rendi! Kamu ngapain di sini?” tanya Gea setelah berpikir sesaat.
“Justru aku yang mestinya nanya. Kamu ngapain? Asrama aku di sekitar sini. Wajar dong aku ada di sini. Kamu kesesat yah?” tanya Rendi sambil duduk di sebelah Gea.
“Iya nih. Aduh... Aku ga tau alamat rumahnya. Nomor telepon juga ga bisa dihubungin. Gimana nih?”
“Hahahaha... Udah besar masih kesesat. Malu-maluin. Hahaha...” kata Rendi sambil tertawa terbahak-bahak.
“Aku kan ga tinggal di sini. Wajar dong! Huh! Eeeehhhh....”
“Kenapa?”
Rendi pun terdiam beberapa saat karena mendengar Gea sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Tak lama Gea melepas handphone yang dipegangnya dari telinganya.
“Akhirnya nyambung juga. Aku udah tau alamatnya nih!” kata Gea dengan wajah berseri-seri.
“Oh ya? Mana? Coba aku lihat.”
Rendi pun mengambil kertas yang ada di tangan Gea dan berpikir sesaat.
“Mmm... Tempat ini deket kok. Jalan kaki juga nyampe. Mau aku anterin?” kata Rendi akhirnya.
“Boleh.”
***
Rendi berdiri sambil mencocokan alamat yang ada di kertas dengan rumah di hadapannya. Lalu ia pun tersenyum girang seperti seorang anak yang menemukan permen.
“Ini dia! Kita sudah sampai.” kata Rendi.
“Waahhh... Ok-ok. Thanks banget yah!” balas Gea.
“Sama-sama. Ya udah. Kamu masuk sana. Hari dah mulai gelap nih.”
“Ok. Dah...”
Gea melangkah masuk ke dalam rumah. Sampai di depan pintu, Gea berbalik dan melambai ke arah Rendi, Rendi membalas. Lalu, Gea pun berlalu dari sana. Di luar Rendi tersenyum sendiri. “Gadis yang menarik.” Batinnya sambil berlalu dari sana. Ia terus menerus tersenyum sendirian sepanjang perjalanan.
Bersambung....
Label: Cerpen